Konsep
Dasar Teori Belajar Behavioristik
Menurut teori behavioristik, belajar adalah suatu
perubahan tingkah laku yang dapat diamati secara langsung, yang terjadi melalui
hubungan stimulus-stimulus dan respon-respon menurut prinsip-prinsip mekanistik
(Dahar, dalam Rusuli 2004).
Behavioris berkeyakinan bahwa setiap anak manusia lahir
tanpa warisan kecerdasan, warisan bakat, warisan perasaan dan warisan yang
bersifat abstrak lainnya (Syah,dalam Rusuli, 2004) dan menganggap manusia
bersifat mekanistik, yaitu merespon terhadap lingkungan dengan kontrol yang
terbatas dan mempunyai peran yang sedikit terhadap dirinya sendiri.
Dalam hal ini konsep behavioristik memandang bahwa
perilaku individu merupakan hasil belajar yang dapat diubah dengan memanipulasi
dan mengkreasikan kondisi-kondisi belajar dan didukung dengan berbagai penguatan
(reinforcement) untuk mempertahankan perilaku atau hasil belajar yang
dikehendaki (Sanyata, dalam Rusuli, 2004). Semuanya itu timbul setelah manusia
mengalami kontak dengan alam dan lingkungan sosial budayanya dalam proses
pendidikan. Maka individu akan menjadi pintar, terampil, dan mempunyai sifat
abstrak lainnya tergantung pada apakah dan bagaimana ia belajar dengan
lingkungannya.
Dalam hal ini
Sumadi Suryabrata (dalam Rusuli,2004) memberikan ciri-ciri teori behavioristik
sebagai berikut:
a. Perkembangan
tingkah laku seseorang itu tergantung pada belajar.
b. Mementingkan
bagian-bagian atau elemen-elemen, tidak keseluruhan.
c. Mementingkan
reaksi dan mekanisme “Bond”, refleks dan kebiasaan-kebiasaan
d. Bertinjauan
historis, artinya segala tingkah lakunya terbentuk karena pengalaman dan
latihan
Model-Model
Teori Belajar Behavioristik
1.
Connectionisme atau Bond-Psychology (Trial and Error)
Teori ini dipelopori oleh Thorndike (1874-1949)
dengan teorinya connectionisme yang disebut juga dengan trial and
error. Dari eksperimen Thorndike ini, bisa diambil tiga hukum dalam
belajar, yaitu:
1. Law
of readiness adalah hukum kesiapan
2. Law
of exercise adalah hukum
latihan, merupakan generalisasi dari law of use dan law of disuse,
yaitu jika perilaku itu sering dilatih atau digunakan, maka eksistensi perilaku
tersebut akan semakin kuat (Law of use). Sebaliknya, jika perilaku tadi
tidak dilatih, maka perilaku tersebut akan menjadi bertambah lemah atau tidak
digunakan sama sekali (law of disuse). Dengan kata lain, belajar akan berhasil
apabila banyak latihan atau ulangan.
3. Law
of effect, yaitu jika respon menghasilkan efek yang
memuaskan, maka hubungan antara stimulus dan respon akan semakin kuat.
Sebaliknya, jika respon menghasilkan efek yang tidak memuaskan, maka semakin
lemah hubungan antara stimulus dan respon tersebut.
2.
Classical Conditioning (Pembiasaan Klasik)
Di
Rusia Ivan Pavlov (1849-1936) juga menghasilkan teori belaja Classical
Conditioning (Pembiasaan Klasik). Teori ini dihasilkan berdasarkan pada
eksperimen terhadap anjing. Kesimpulan dari eksperimen Pavlov di atas adalah
apabila stimulus yang diadakan (CS) itu selalu disertai dengan stimulus penguat
(US), maka stimulus tadi (CS) cepat atau lambat akhirnya akan menimbulkan respon
atau perubahan yang dikehendaki (CR). Adapun cara menghilangkan refleks-refleks
bersyarat ini melalui proses pensyaratan kembali (Reconditioning,
hereconditioning). Dalam hal ini, proses belajar berdasarkan eksperimen
Pavlov tunduk pada dua hukum, yaitu:
1. Law
of Respondent Conditioning adalah hukum pembiasaan yang
dituntut
2. Law
of Respondent Extinction adalah hukum pemusnahan yang
dituntut
Daftar Pustaka
Rusuli, I. (2004).
Refleksi teori belajar behavioristik dalam persepektif islam. Majelis
Pendidikan Daerah Aceh. Jurnal Pencerahan, 8(1), 38-54.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar